header coretan ibu kiya

Ketika Jalan-Jalan Bercerita

8 komentar
Fiksi
Jalan Kampung

Jalan Kota


Hai, perkenalkan … aku jalan kota. Orang-orang lebih sering memanggilku 'jalan raya’. Entah siapa pencetusnya. Barangkali karena tubuhku yang lebar dan juga panjang. Kau tahu, tetanggaku itu iri padaku. Dia pernah bilang, “Enak ya jadi kamu, selalu jadi perhatian pemerintah. Selalu dipoles secara berkala, dilalui segala jenis kendaraan penuh warna.”

Hahaaa … dia belum tahu saja. Betapa kesalnya aku saat musim libur dan hari raya tiba. Beban yang kuemban lebih berat dari biasanya. Ah, andaikan ia tahu betapa muaknya aku dengan mereka yang sok jadi anak kota. Dilindasnya tubuhku dengan kecepatan maksimal, tak sedikit pula yang ugal-ugalan.

Saat terik menyengat dan lalu lintas padat merayap, yang kudengar hanya sumpah serapah dan bunyi klakson memekakkan telinga. Belum lagi para sopir yang suka meludah, dan mobil-mobil mewah yang asal membuang sampah.

Andaikan bisa bereinkarnasi, aku ingin menjadi seperti tetanggaku saja. Hidup damai bersama orang-orang yang baik budinya. Para petani, blantik, ustaz, dan pekerja yang dianggap sebelah mata tetapi murah senyum dan hidup bersahaja.

***

Jalan Desa


Aku si jalan kampung. Tubuhku bergelombang tak beraturan. Meski tak semuanya. Kudengar sekarang sudah ada dana desa yang bisa kupakai untuk memoles diri supaya berwajah kota. Namun, nasibku tak semujur jalan kota, yang selalu didandani secara berkala.

Alih-alih segera merealisai operasi tubuhku menjadi mulus, para pejabat kampung itu sibuk berdebat tak berkesudahan.

Bila malam tiba, aku selalu kesepian. Minimnya penerangan membuat mereka ketakutan.

Hmmmhhh … andai saja aku dilahirkan di kota, nasibku tentu bisa lebih baik dari sekarang.

Bisa bertemu orang-orang penting, juga anak yang gaul dan terpelajar. Belum lagi berbagai jenis kendaraan mewah yang kata orang harganya hingga ratusan juta rupiah.

***

Jalan Pintas


Kau tahu? Akulah yang paling langsing di antara temanku yang lain. Tubuhku akan semakin menipis tatkala rumah demi rumah mulai dibangun.

Dulu aku bersyukur, Karena setiap hari selalu dilalui orang-orang yang senantiasa berdzikir. Atau paling tidak mereka yang setiap langkahnya bernilai pahala. Bagaimana tidak? Mereka yang sedang mengejar waktu menuju tempat kerja, masjid, atau tempat mengaji-lah yang rutin menyapaku.

Tentu aku sangat bangga bisa membantu banyak orang. Tapi itu dulu. Sebelum pemilikku mengambil keputusan semena-mena. Menutup dengan tembok yang tingginya tak terkira. Mereka bilang ini tanah keluarga, bukan jalan umum yang bebas dipakai siapa saja. Ah, alasan yang mengada-ada.


Nining Purwanti
Selamat datang di blog Ibu Kiya. Ibu pembelajar yang suka baca, kulineran, jalan-jalan, dan nonton drama Korea. Selamat menikmati kumpulan coretan ibu Kiya, semoga ada manfaat yang didapat ya. ��

Related Posts

8 komentar

  1. Mantul ceritanya .. Bagaimana sebuah jalan bercerita .. Masih banyak jalan-jalan yang lainnya untuk diminta bercerita juga, misalnya jalan yang berujung (jalan buntu), jalan khusus ratatouille (jalan tikus), jalan yang cukup u telapak kaki alias jalan setapak... Sukses

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir dan memberi ide, Kak. 🙏😊

      Hapus
  2. Balasan
    1. Wkwkwkk ... Mereka juga ingin bersuara, Bang. 😬

      Hapus
  3. Balasan
    1. Tolong dibantu biar nggak selamanya menjadi yang terbuang.

      Hahaaa ... jadi sambung kata.

      Hapus
  4. Setiap jalan punya cerita ya Mba. Seruuu....

    BalasHapus

Posting Komentar