header coretan ibu kiya

Mei '98

2 komentar
Fiksi
Menolak Lupa

Istana Nusantara, Januari 1998

“Bagaimana ini, krisis ekonomi semakin menjadi. Mahasiswa sudah mulai melakukan orasi. Aroma kudeta sudah mulai berembus di seluruh penjuru negeri.” Orang kepercayaan presiden mulai panik. Ia melaporkan berbagai kegiatan mencurigakan yang sudah beberapa bulan ini menjadi sasaran intaiannya.

Di balik meja, sang tuan yang dimuliakan duduk dengan santai. Ia menyimak penjelasan kaki tangannya dengan saksama. Sesekali kepalanya manggut-manggut. Jari tangannya mengetuk-ngetuk pelan kaca meja. Seolah sedang memikirkan sesuatu dalam benaknya.


“Tenang saja. Kekuasaanku tak akan berhenti hanya karena demo mahasiswa. Lihatlah, rakyat Nusantara ini sudah peecaya sepenuhnya padaku. Apalagi mereka yang menggantungkan kehidupan perusahaannya pada kebijakanku. Kalaupun ada yang berkhianat, tak akan mampu membuat rakyat berubah pikiran,” ucapnya penuh keyakinan.

“Kecuali jika yang berkhianat itu dirimu.” Ia tersenyum kecut kemudian berlalu menuju ruang pertemuan.

Sementara itu, di rumah Ratno, pimpinan pasukan perang yang paling disegani di negeri ini, sekelompok orang sedang berunding mengatur strategi.

“Awal Maret, menurut berita yang kudengar. Apa kalian sudah siap dengan semua yang telah kita rencanakan?” tanya Ratno kepada para tokoh dan mahasiswa yang berada dalam barisannya.

“Siap, Komandan,” jawab mereka serentak.

***

Maret, 1998

Istana Nusantara bersiap mengadakan perhelatan akbar. Pelantikan sang presiden untuk ketujuh kalinya. Para penghuni istana tak lagi peduli dengan kericuhan yang terjadi di luar. Sekalipun ingin peduli, mereka terikat kontrak untuk patuh pada sang penguasa negeri ini.

Malam jelang pelantikan, para mahasiswa mempersiapkan diri untuk berperang. Bendera dan segala atribut yang telah mereka persiapkan berbulan-bulan telah siap diangkut mobil sewaan.

Benar saja, paginya mereka telah berada di luar istana. Namun apa daya, tameng sang penguasa menghalangi rencana mereka untuk merangsek ke dalam istana.

Pelantikan yang tak diharapkan itu menjadi nyata. Tak satupun proposal dari para pemikir bangsa yang diterima. Sungguh, tak banyak yang mereka pinta. Hanya perombakan di lini pemerintah, dan strategi jitu untuk mengentaskan rakyat dari jeratan ekonomi yang memiskinkan.

Sang penguasa yang selalu terpenuhi misi pribadinya itu kian jumawa. Baginya, rakyat kelaparan merupakan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Selama ia dan anak cucunya baik-baik saja, tak akan terjadi bencana.

Darah para pemuda itu semakin mendidih, saat mengetahui dari Sang Komandan, bahwa Sang Presiden akan mengadakan lawatan ke negeri seberang. Untuk apalagi selain mencari pinjaman. Mendatangkan pundi-pundi uang atas nama rakyat tapi nyatanya masuk ke kantong sendiri.

***

“Kamu tahu? Dia itu sungguh licik. Memanfaatkan suara orang asing yang disokongnya, meraup suara dari berbagai lini dengan ancaman akan dipecat dari posisi.” Yusuf geram.

Ia tahu betul betapa tetangganya ketakutan saat diminta untuk tidak memilih presiden ketujuh kali.

“Kita harus melakukan pergerakan. Jika tidak, kita akan semakin terpuruk dalam kesengsaraan,” ucap Sang Komandan memprovokasi.

“Tapi bagaimana caranya? Sudah berbagai cara kita lakukan. Mengirim utusan, proposal, hingga turun ke jalan. Hasilnya? Nihil!” Anton menggebrak meja.

Perdebatan panjang itu berakhir pada satu keputusan, hingga pecahlah kericuhan pada tiga belas hingga lima belas Mei. Tragedi Mei 1998 yang hingga kini masih menghantui seluruh rakyat di penjuru negeri.

___

#KelasFiksiOdop6
#OneDayOnePost
#TantanganHistoricalFiction
#Fiksi
Nining Purwanti
Selamat datang di blog Ibu Kiya. Ibu pembelajar yang suka baca, kulineran, jalan-jalan, dan nonton drama Korea. Selamat menikmati kumpulan coretan ibu Kiya, semoga ada manfaat yang didapat ya. ��

Related Posts

2 komentar

  1. Rusuh bgtt waktu ituu. Ngerii, pembakaran dimana đŸ˜¢ pas masi kecil liat org2 pada demo di jln đŸ˜¢

    BalasHapus
  2. Temanya keren. Saya suka. Mungkin bisa ditulis lebih galak lagi.

    BalasHapus

Posting Komentar